BULAN September 1926, Harian De Lecomotif menulis, "Inilah film yang merupakan tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian."
Film yang dimaksud oleh De Locomotif itu adalah "Loetoeng Kasaroeng". Sebuah film lokal Indonesia yang diproduksi oleh NV Java Film Company pada tahun 1926. Sebelumnya, pada bulan Agustus di tahun yang sama, De Locomotif juga telah menulis, "Pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priayi yang berpendidikan. Pengambilan film dilakukan di suatu tempat yang dipilih dengan cermat, kira-kira dua kilometer sebelah Barat Kota Padalarang."
Dan pada tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 untuk pertama kalinya "Loetoeng Kasaroeng", film lokal pertama yang menjadi tonggak industri sinema di Indonesia itu, diputar di Bioskop Majestic, Jalan Braga Bandung.Film yang dimaksud oleh De Locomotif itu adalah "Loetoeng Kasaroeng". Sebuah film lokal Indonesia yang diproduksi oleh NV Java Film Company pada tahun 1926. Sebelumnya, pada bulan Agustus di tahun yang sama, De Locomotif juga telah menulis, "Pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priayi yang berpendidikan. Pengambilan film dilakukan di suatu tempat yang dipilih dengan cermat, kira-kira dua kilometer sebelah Barat Kota Padalarang."
Bioskop Majestic, pada masanya dibangun sebagai bagian yang terpisahkan dari kawasan Jalan Braga. Sebuah kawasan belanja bergengsi bagi para Meneer Belanda pemilik perkebunan. Bioskop ini, didirikan untuk keperluan memuaskan hasrat para Meneer itu akan sarana hiburan di samping sarana perbelanjaan.
Bioskop itu didirikan pada awal dekade tahun ’20-an dan selesai tahun 1925 dengan arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker. Seorang arsitek terkenal yang jejak karyanya di Kota Bandung masih berdiri dengan kukuh, sebutlah Gedung Asia-Afrika, Gedung PLN, Masjid Cipaganti, Preanger hingga Gereja Katedral di Jalan Merdeka.
Tentang suasana tontonan di bioskop Majestic pada sekira periode tahun 1920-an itu, pemutaran film didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Ketika itu kedatangan kereta kuda itu sudah menjadi hiburan tersendiri, terutama bagi anak-anak.
Pemutaran film dimulai pukul 19.30 dan 21.00. Sebelum film diputar di pelataran bioskop Majestic sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian.
Menjelang film akan mulai diputar, orkes mini ini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Maklum saja pada pertengahan tahun 1920-an itu film masih meruapakan film bisu.
Pada masa itu, sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Di bioskop majestic tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri.
Kegemilangan Oriental Bioskop terus bertahan hingga masa kemerdekaan. Namun memasuki periode 1980-an, kejayaan bioskop yang menjadi bagian dari sejarah kelahiran film Indonesia ini mulai terasa surut. Munculnya konsep yang ditawarkan oleh bioskop cineplex, di mana penonton bisa memilih film yang ingin ditontonannya, adalah salah satu sebabnya.
Rata-rata orang Indonesia gemar menonton film terutama di bioskop, sejarah mencatat bahwa bioskop pertama kali diperkenalkan tahun 1895 oleh Robert Paul yang mendemonstrasikan kepada masyarakat di London mengenai kemampuan proyektor film.
Lima tahun kemudian, tepatnya 5 Desember 1900 film masuk ke Hindia Belanda (Batavia, sekarang Jakarta) semula hanya lantaran rasa kebanggaan orang kulit putih yang tidak mau kalah dari saudara-saudaranya yang tinggal di tanah airnya. Istilah pada saat itu adalah “gambar idoep”.
Setahun kemudian muncul fenomena layar tancap, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Beos).
Tidak lama setelah itu (1903), sudah berdiri beberapa bioskop antara lain Elite untuk penonton kelas atas, Deca Park, Capitol untuk penonton kelas menengah, Rialto Senen dan Rialto Tanah Abang buat penonton kalangan menengah dan menengah ke bawah
Pada tahun 1936, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh HM Johan Tjasmadi, seorang tokoh perbioskopan Indonesia, terdapat 225 bioskop yang ada di Hindia Belanda, menyebar di Bandung 9 bioskop, Jakarta 13 bioskop, Surabaya 14 bioskop dan Yogyakarta 6 bioskop.
Pada era itu, kepemilikan bioskop sudah didominasi oleh pengusaha Tionghoa. Ada anggapan bahwa orang Cina pada saat itu merasa tertantang untuk membuka usaha bioskop yang sebelumnya dijalankan oleh pengusaha londo atau kulit putih. Selain itu dengan memiliki usaha bioskop, para pengusaha Tionghoa itu dapat menjamu para pejabat Belanda yang menjadi relasi mereka di bioskop miliknya dengan disertai undangan menonton bioskop yang dibuat indah, dan para pejabat yang diundang juga diberi hadiah upeti makanan dan minuman.
Sepanjang tahun 1920 – 1930, film-film yang masuk ke Hindia Belanda berasal dari Amerika (Hollywood), Eropa (Belanda, Prancis, Jerman) dan China (Legenda Tiongkok Asli). Sekitar tahun 1925, film terbaru keluaran Hollywood bahkan sudah diputar di bioskop-bioskop Hindia Belanda, lebih cepat daripada bioskop di Belanda sendiri.
Lalu pada periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China. Kemudian pada masa pendudukan Jepang periode 1942 – 1945, , setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang.
Waktu itu, untuk menarik perhatian para kalangan Muslimin, oleh pemerintah Jepang bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan Isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, maka sekarang terbuka untuk umum (pribumi).
Pada masa pendudukan Jepang di Nusantara, jumlah bioskop menurun tajam, dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta.
Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan. Setelah Jepang menyerah di PD II, Soekarno-Hatta pun memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, dan mulai dari itu lahirlah tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia. Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).
Lima tahun kemudian, tepatnya 5 Desember 1900 film masuk ke Hindia Belanda (Batavia, sekarang Jakarta) semula hanya lantaran rasa kebanggaan orang kulit putih yang tidak mau kalah dari saudara-saudaranya yang tinggal di tanah airnya. Istilah pada saat itu adalah “gambar idoep”.
Setahun kemudian muncul fenomena layar tancap, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Beos).
Tidak lama setelah itu (1903), sudah berdiri beberapa bioskop antara lain Elite untuk penonton kelas atas, Deca Park, Capitol untuk penonton kelas menengah, Rialto Senen dan Rialto Tanah Abang buat penonton kalangan menengah dan menengah ke bawah
Pada tahun 1936, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh HM Johan Tjasmadi, seorang tokoh perbioskopan Indonesia, terdapat 225 bioskop yang ada di Hindia Belanda, menyebar di Bandung 9 bioskop, Jakarta 13 bioskop, Surabaya 14 bioskop dan Yogyakarta 6 bioskop.
Pada era itu, kepemilikan bioskop sudah didominasi oleh pengusaha Tionghoa. Ada anggapan bahwa orang Cina pada saat itu merasa tertantang untuk membuka usaha bioskop yang sebelumnya dijalankan oleh pengusaha londo atau kulit putih. Selain itu dengan memiliki usaha bioskop, para pengusaha Tionghoa itu dapat menjamu para pejabat Belanda yang menjadi relasi mereka di bioskop miliknya dengan disertai undangan menonton bioskop yang dibuat indah, dan para pejabat yang diundang juga diberi hadiah upeti makanan dan minuman.
Sepanjang tahun 1920 – 1930, film-film yang masuk ke Hindia Belanda berasal dari Amerika (Hollywood), Eropa (Belanda, Prancis, Jerman) dan China (Legenda Tiongkok Asli). Sekitar tahun 1925, film terbaru keluaran Hollywood bahkan sudah diputar di bioskop-bioskop Hindia Belanda, lebih cepat daripada bioskop di Belanda sendiri.
Lalu pada periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China. Kemudian pada masa pendudukan Jepang periode 1942 – 1945, , setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang.
Waktu itu, untuk menarik perhatian para kalangan Muslimin, oleh pemerintah Jepang bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan Isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, maka sekarang terbuka untuk umum (pribumi).
Pada masa pendudukan Jepang di Nusantara, jumlah bioskop menurun tajam, dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta.
Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan. Setelah Jepang menyerah di PD II, Soekarno-Hatta pun memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, dan mulai dari itu lahirlah tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia. Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).
Di Jakarta pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas. Pada tahun 1955 bioskop Indra di Yogyakarta mulai mengembangkan kompleks bioskopnya dengan toko dan restoran.
Pada awal Orde Baru, dianggap sebagai masa yang mendukung kemajuan berbioskopan, baik dalam skala produksi film nasional maupun dalam sarana tempat pertunjukkannya. Keadaan ini terus mencapai puncaknya pada tahun 1990-an yang produksi film nasional nya mencapai 112 judul per tahun. Sementara sudah sejak tahun 1987 tempat pertunjukan dengan konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) bermunculan. Sinepleks-sinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan, mall ataupun pusat perbelanjaan yang menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.
Sinepleks tidak hanya banyak terdapat di kota besar, melainkan hadir sampai di tingat kecamatan. Hal ini adalah tidak terlepas dari kebijakan pemerintah y ang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada “bioskop depan”. Karena itu pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan: 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar.
Era 1990-an jaringan bioskop di Indonesia hampir dikuasai oleh jaringan sinepleks 21. Di seluruh wilayah Indonesia pasti ada bioskop 21 ini. Otomatis 21 sinepleks nyaris monopoli sebagai jaringan bioskop untuk kelas menengah keatas.
Lalu sekitar tahun 2000-an, jaringan bioskop mulai marak di Indonesia. 21 sinepleks menambah bioskopnya dengan nama XXI dan The Premiere yang ditujukan untuk masyarakat metropolis, dengan sarana dan fasilitas lebih baik juga tayangan film yang lebih beragam, bukan hanya dari Hollywood saja.
Setelah itu dibuka Blitzmegaplex pertama kali di buka di Paris Van Java, Bandung. Kehadiran Blitzmegaplex menghilangkan kesan monopoli yang terjadi dalam jaringan bisnis bioskop di Indonesia karena hanya ada Bioskop 21 yang sebelumnya telah lebih dahulu sukses dalam pasar sinema di Indonesia.
Setelah hadir di Bandung, Blitzmegaplex masuk ke Jakarta dengan membuka cabangnya di Grand Indonesia disusul kemudian dengan pembukaan di Pacific Place dan yang bioskop Blitzmegaplex yang terbaru di Mall of Indonesia dengan 11 layar dan studio 3D dengan menggunakan teknologi realD. Dan dipertengahan tahun 2009, Blitzmegaplex membuka lagi cabang barunya di Teraskota dengan 9 layar dan studio 3D.
Blitzmegaplex telah meraih penghargaan dari MURI sebagai bioskop dengan layar terbesar di tanah air yaitu di auditorium 1 di blitzmegaplex Grand Indonesia. Fasilitas yang membedakan Blitzmegaplex dengan Bioskop 21 adalah studio BlitzDining Cinema yang memadukan konsep menonton film dan restoran.
Pada awal Orde Baru, dianggap sebagai masa yang mendukung kemajuan berbioskopan, baik dalam skala produksi film nasional maupun dalam sarana tempat pertunjukkannya. Keadaan ini terus mencapai puncaknya pada tahun 1990-an yang produksi film nasional nya mencapai 112 judul per tahun. Sementara sudah sejak tahun 1987 tempat pertunjukan dengan konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) bermunculan. Sinepleks-sinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan, mall ataupun pusat perbelanjaan yang menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.
Sinepleks tidak hanya banyak terdapat di kota besar, melainkan hadir sampai di tingat kecamatan. Hal ini adalah tidak terlepas dari kebijakan pemerintah y ang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada “bioskop depan”. Karena itu pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan: 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar.
Era 1990-an jaringan bioskop di Indonesia hampir dikuasai oleh jaringan sinepleks 21. Di seluruh wilayah Indonesia pasti ada bioskop 21 ini. Otomatis 21 sinepleks nyaris monopoli sebagai jaringan bioskop untuk kelas menengah keatas.
Lalu sekitar tahun 2000-an, jaringan bioskop mulai marak di Indonesia. 21 sinepleks menambah bioskopnya dengan nama XXI dan The Premiere yang ditujukan untuk masyarakat metropolis, dengan sarana dan fasilitas lebih baik juga tayangan film yang lebih beragam, bukan hanya dari Hollywood saja.
Setelah itu dibuka Blitzmegaplex pertama kali di buka di Paris Van Java, Bandung. Kehadiran Blitzmegaplex menghilangkan kesan monopoli yang terjadi dalam jaringan bisnis bioskop di Indonesia karena hanya ada Bioskop 21 yang sebelumnya telah lebih dahulu sukses dalam pasar sinema di Indonesia.
Setelah hadir di Bandung, Blitzmegaplex masuk ke Jakarta dengan membuka cabangnya di Grand Indonesia disusul kemudian dengan pembukaan di Pacific Place dan yang bioskop Blitzmegaplex yang terbaru di Mall of Indonesia dengan 11 layar dan studio 3D dengan menggunakan teknologi realD. Dan dipertengahan tahun 2009, Blitzmegaplex membuka lagi cabang barunya di Teraskota dengan 9 layar dan studio 3D.
Blitzmegaplex telah meraih penghargaan dari MURI sebagai bioskop dengan layar terbesar di tanah air yaitu di auditorium 1 di blitzmegaplex Grand Indonesia. Fasilitas yang membedakan Blitzmegaplex dengan Bioskop 21 adalah studio BlitzDining Cinema yang memadukan konsep menonton film dan restoran.
0 komentar:
Posting Komentar