Doraemon : Stand By Me

Kamis, 14 Agustus 2014
0 komentar
Tokyo, SPOILER ALERT! Artikel ini mengungkap sedikit jalan cerita Stand By Me Doraemon!

Lama ditunggu para penggemarnya, akhirnya Stand By Me Doraemon telah tiba di hari penayangan perdana di Jepang, Jumat (8/8/2014) hari ini.
Merujuk dari salah satu review di Eiga.com (6/8/2014), `Stand By Me Doraemon` yang menjadi film CG 3D pertama Doraemon, memiliki nuansa yang jauh lebih mengharukan ketimbang serial televisi maupun film-film animasi Doraemon sebelumnya.
Melalui trailer dan beberapa kabar yang ada sebelumnya, `Stand By Me Doraemon` diasumsikan bakal menjadi film terakhir sang robot kucing biru dan kawan-kawannya.
Akan tetapi, film animasi 2D terbaru Doraemon ternyata masih tayang tahun depan. Sehingga, film ini bisa dikatakan hanya sebagai "kisah terakhir dari pertemuan antara Doraemon dan Nobita demi sebuah masa depan yang bahagia".
Menurut ulasan dari Eiga.com, film ini menyuguhkan berbagai adegan yang diambil dari episode-episode serial televisi anime Doraemon. Hasil arahan sutradara Takashi Yamazaki dan Ryuichi Yagi ini, dibilang memiliki keindahan luar biasa dalam memamaparkan tampilan grafis komputer.
Salah satu keindahan yang disajikan secara apik di film ini adalah adegan Doraemon, Nobita, Shizuka, Gian, dan Suneo sedang berada di atas langit serta ketika mereka menggunakan Baling-baling Bambu (Take-copter) untuk bepergian.
Penampilan Doraemon dalam bentuk CG pun disajikan sedemikian rupa hingga penonton bisa merasakan kehadiran sang robot kucing secara nyata. Ditambah lagi, film ini menampilkan adegan yang mengingatkan pada serial televisi hingga membuat penonton dewasa serasa bernostalgia.
Kehangatan hati dalam cerita yang pernah dituangkan oleh Fujiko Fujio pun terasa sangat kental. Momen "Doraemon Kembali" dan "Selamat Tinggal Doraemon" kabarnya diperlihatkan secara mengharukan.
Kepiawaian pengisi suara seperti Wasabi Mizuta, Megumi Ohara, serta Yumi Kakazu, mampu membuat karakter dalam `Stand By Me Doraemon` terkesan natural. Ditambah lagi saat alunan musik yang dimainkan oleh Motohiro Hata dan Naoki Sato diputar.
Shizuka menjadi salah satu tokoh penting bagi film ini. Kita melihat di dalam trailernya bagaimana Nobita dan Shizuka pergi berduaan untuk pertama kali hingga mereka tertimpa masalah berat. Terlebih lagi, film ini juga bakal membuat Nobita bersatu dengan Shizuka sebagai suami-istri.
Isu pernikahan keduanya pun diangkat, namun perpisahan Nobita dengan Doraemon seolah menjadi pengorbanan besar bagi Nobita demi bisa meraih masa depan rumah tangga yang didambakannya.
Di Jepang, Stand By Me Doraemon sudah mulai tayang mulai hari ini (8/8/2014). Sedangkan jadwal penayangan secara internasional maupun di Indonesia masih belum diumumkan sama sekali.

Selengkapnya -->

R.I.P. Robin Williams

0 komentar

Dunia hiburan kembali membawa berita duka yang mendalam. Salah satu aktor besar yang biasa tampil di film komedi, Robin Williams, telah menutup mata di usia 63 tahun. Aktor ini ditemukan tewas di rumahnya, Tiburon, Calif. pada hari Senin waktu setempat.

Penyebab kematiannya dipercaya dikarenakan bunuh diri karena ditemukan dalam keadaan asphyxia atau ditandai dengan kondisi darah yang kekurangan oksigen dan tingginya kandungan karbon dioksida, seperti yang diungkap oleh pejabat Koroner Tiburon.

Menurut publisis-nya, yang mengkonfirmasi berita ini, Williams memang sedang berjuang melawan depresi dan sebelum kematiannya tengah memasuki rehab dalam mengatasi kecanduannya terhadap obat-obatan terlarang.

Beikut pernyataan sang istri tercinta, Susan Schneider, terhadap kematian Williams, seperti yang dikutip dari Variety:

“I am utterly heartbroken. On behalf of Robin’s family, we are asking for privacy during our time of profound grief. As he is remembered, it is our hope the focus will not be on Robin’s death, but on the countless moments of joy and laughter he gave to millions.”

Kantor Sherrif Marin County menerima panggilan 911 dari kediaman Williams pada hari Senin, pukul 11.55 siang, yang menyebutkan jika Williams telah diketemukan dalam keadaan tidak sadar dan tidak bernafas. Tim paramedis tiba pada sekitar pukul 12 siang dan mengumumkan kematiannya pada pukul 12.02 siang.

Williams terakhir kali terlihat oleh sang istri pada pukul 10 malam di hari Minggu. Otopsi rencananya akan dilakukan pada hari Selasa, 12 Agustus di Kantor Koroner Marin County.

Williams meninggalkan seorang istri dari perkawinan ketiganya dan tiga orang anak, Zachary, Zelda dan Cody dari dua perkawinan pertamanya.

Pria bernama lengkap Robin McLaurin Williams lahir di Chicago, Illinois, tanggal 21 Juli 1951. Film pertamanya adalah sebuah komedi berjudul Can I Do It 'Till I Need Glasses? di tahun 1977.

Namun ia populer berkat serial Mork & Mindy yang tayang di tahun 1978 hingga 1982 dimana Williams berperan sebagai alien. Selanjutnya ia banyak bermain di film layar lebar yang berkesan karena aktingnya yang gemilang.

Aktingnya dalam Good Morning, Vietnam (1987) menganugerahinya nominasi Oscar pertama, meski ia baru menyabetnya 10 tahun kemudian melalui film Good Will Hunting (1997). Di antaranya ia sudah mendapatkan nominasi melalui beberapa film, yaitu Dead Poets Society (1989) dan The Fisher King (1991).

Dalam rentang karir nyaris 4 dekade, Williams telah berperan di 81 film dengan sebagian besar menjadi favorit banyak orang. Sebut saja Hook (1991), Aladdin (1992), Mrs. Doubtfire (1993), Jumanji (1995) dan banyak lagi.

Williams terkenal akan ciri khas yang suka melakukan improvisasi. Bahkan sebagian besar dialog di film Aladdin adalah hasil improvisasinya. Tapi, karena itulah ia menjadi unik dan menjadi pilihan banyak sutradara.

Meski telah tutup usia, Williams masih meninggalkan beberapa film yang bisa kita tonton nantinya, seperti Night at the Museum: Secret of the Tomb yang siap tayang di musim panas ini.

Selamat jalan Robin Williams. Terimakasih untuk semua keceriaan yang telah Anda sematkan ke hati kami, para pecinta film. Will be missed!
Selengkapnya -->

Studio Ghibli Menutup Divisi Animasinya

0 komentar

Dibilang mengagetkan sebenarnya tidak juga, karena rumor tentang ini sudah berhembus beberapa bulan terakhir. Tapi saat Studio Ghibli secara resmi mengumumkan menutup divisi animasi mereka, mau tidak mau rasa sedih dan haru pun menyergap.

Yep, akhirnya Studio Ghibli, Inc. (株式会社スタジオジブリ Kabushiki-gaisha Sutajio Jiburi), melalui berita yang disampaikan oleh General Manager-nya, Toshio Suzuki, memutuskan untuk tidak memproduksi film animasi lagi. Studio yang berbasis di  Koganei, Tokyo, Jepang ini berdiri di tahun 1985 setelah sukses film karya maestro Hayao Miyazaki, Nausicaä of the Valley of the Wind, dengan Laputa: Castle in the Sky sebagai film pertama yang diproduksi. Selanjutnya tinggal sejarah. Ghibli membuktikan jika mereka merupakan nama paten untuk film-film animasi yang berkelas. Dunia Ghibli adalah dunia magis, penuh warna, humanis dan menyentuh.

Namun Miyazaki sudah memutuskan untuk pensiun setelah film terakhirnya, The Wind Rises (2013), dan Ghibli tidak memiliki pengganti yang cukup kuat untuk menggantikannya, sehingga tidak heran jika keputusan penutupan ini diambil.

Dua film terakhir Ghibli, When Marnie Was There dan The Tale of Princess Kaguya tidak mendapat prestasi yang menggembirakan dari segi Box-Office, meski tidak bisa dibilang gagal juga. Tapi dengan biaya produksi film animasi yang tinggi, memang akan sulit untuk studio untuk tetap bisa berproduksi jika tidak diimbangi oleh pemasukan yang memadai.


Selama ini kesuksesan Ghibli adalah karena hadirnya film-film Miyazaki yang sangat berkesan, seperti Castle in the Sky, My Neighbour Totoro, Kiki's Delivery Service, Porco Rosso, Princess Mononoke, Spirited Away, Howl's Moving Castle, Ponyo dan tentunya The Wind Rises. Bahkan Spirited Away mempersembahkan sebuah Oscar untuk Ghibli sebagai Film Animasi Terbaik.

Tapi Ghibli tidak hanya memiliki Miyazaki. Ia juga mempersembahkan banyak film-film bagus karya Isao Takahata, seperti Graves of the Fireflies, Only Yesterday, Pom Poko, dan My Neighbors The Yamadas. Sayangnya film terbaru Takahata setelah absen selama 14 tahun, The Tale of Princess Kaguya tidak mendapat penghasilan yang memadai. Dengan bujet sekitar ¥5 miliar, film hanya sanggup mengumpulkan sekitar  ¥2.5 miliar saja.

Beberapa generasi baru, termasuk putra kandung Miyazaki, Goro Miyazaki, ternyata tidak mampu memberikan film-film yang berkesan atau cukup sukses di pasaran, sehingga proses regenerasi di Ghibli bisa dikatakan mandeg. Dengan adanya kondisi ini tidak mengherankan jika Ghibli kemudian memutuskan untuk tidak lagi memproduksi film animasi.

Tapi menurut Suzuki, bukan berarti Ghibli tutup secara keseluruhan, karena divisi yang menangani musik video, advertorial dan sebagainya masih akan tetap berjalan seperti biasa. Menurut Suzuki saat ini divisi animasi akan melakukan restrukturisasi dan merencanakan apa yang akan dilakukan ke depannya.
Selengkapnya -->

Festival Film Bandung 2014

0 komentar

Forum Film Bandung bersama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Padepokan Seni Mayang Sunda Kota Bandung, dan SCTV baru saja mengumumkan secara resmi deretan peraih nominasi di Festival Film Bandung 2014 (FFB 2014) yang akan bersaing memperebutkan piala pada malam puncak yang direncanakan akan diselenggarakan pada 13 September mendatang di Monumen Perjuangan Bandung.

Setidaknya terdapat 19 kategori akan dibagikan di perhelatan tahunan yang telah memasuki usia ke-27 ini dengan perincian 11 kategori untuk film bioskop, 3 kategori untuk serial televisi, dan 5 kategori untuk film televisi. Berdasar penuturan dari Ketua FFB 2014, Eddy D Iskandar, penyeleksian untuk kategori film bioskop dimulai dari 1 Mei 2013 hingga 31 Juli 2014 dengan total keseluruhan mencapai 123 judul film nasional dan 160 judul film impor.

Dari ratusan judul tersebut, tim penilai lantas mengerucutkannya menjadi 17 judul film yang lantas disebar ke 11 kategori. Soekarno dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tercatat sebagai peraih nominasi terbanyak pada gelaran tahun ini dengan total masing-masing 9 nominasi.

Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah nominasi lengkap Festival Film Bandung 2014 di kategori film bioskop:

Film Terpuji
- Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Soraya Intercine Film)
- Soekarno (MVP Film)
- Sang Kiai (Rapi Film)
- Adriana (Visi Lintas Films)
- Sokola Rimba (Miles Films)

Pemeran Utama Pria Terpuji
- Ikranagara (Sang Kiai)
- Joe Taslim (La Tahzan)
- Ario Bayu (Soekarno)
- Herjunot Ali (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)
- Alex Komang (Sebelum Pagi Terulang Kembali)

Pemeran Utama Wanita Terpuji
- Atiqah Hasiholan (La Tahzan)
- Adinia Wirasti (Laura dan Marsha)
- Prisia Nasution (Sokola Rimba)
- Pevita Pearce (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)
- Eriska Rein (Bajaj Bajuri The Movie)

Pemeran Pembantu Pria Terpuji
- Adipati Dolken (Sang Kiai)
- Kevin Julio (Adriana)
- Tanta Ginting (Soekarno)
- Reza Rahardian (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)
- Nobuyuki Suzuki (12 Menit Kemenangan Untuk Selamanya)

Pemeran Pembantu Wanita Terpuji
- Raline Shah (99 Cahaya di Langit Eropa)
- Marisa Anita (Selamat Pagi, Malam)
- Maudy Koesnaedy (Soekarno)
- Meriam Bellina (Slank Gak Ada Matinya)
- Renata Kusmanto (Ketika Tuhan Jatuh Cinta)

Sutradara Terpuji
- Rako Prijanto (Sang Kiai)
- Fajar Nugros (Adriana)
- Riri Riza (Sokola Rimba)
- Sunil Soraya (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)
- Hanung Bramantyo (Soekarno)

Penulis Skenario Terpuji
- Leleleila (Adriana)
- Riri Riza (Sokola Rimba)
- Donny Dhirgantoro dan Imam Tantowi (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)
- Oka Aurora (12 Menit Kemenangan Untuk Selamanya)
- Lucky Kuswandi (Selamat Pagi, Malam)

Editor Terpuji
- Cesa David Luckmansyah (Soekarno)
- Cesa David Luckmansyah (Sang Kiai)
- Bounty Umbara (Comic 8)
- Ryan Purwoko (99 Cahaya di Langit Eropa)
- Sasta Sunu (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)

Penata Kamera Terpuji
- Muhammad Firdaus (Sang Kiai)
- Yadi Sugandi (Adriana)
- Yudi Datau (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)
- Fauzan Rizal (Soekarno)
- Enggar Boediono (99 Cahaya di Langit Eropa)

Penata Artistik Terpuji
- Frans XR Paat (Sang Kiai)
- Samuel Watimena (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)
- Oscart Firdaus (Sebelum Pagi Terulang Kembali)
- Ikent Arthefact (Marmut Merah Jambu)
- Allan Sebastian (Soekarno)

Penata Musik Terpuji
- Indra Lesmana (Adriana)
- Aksan Sjuman (Sokola Rimba)
- Tia Subiakto Satrio (Soekarno)
- Joseph S. Djafar (99 Cahaya di Langit Eropa)
- Andhika Triyadi (Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor)
Selengkapnya -->

Teenage Mutant Ninja Turtles (2014)

0 komentar
April O’Neil (Megan Fox) bosan menjadi reporter TV dengan tugas yang dianggap tidak penting. Untuk membuktikan kepiawaiannya, ia menyelidiki keberadaan Foot Clan pimpinan Shredder yang meresahkan warga kota.

Saat penyelidikan itulah April menemukan fakta lain mengenai kura-kura bersaudara hasil mutasi yang selama ini hidup di gorong-gorong New York. Uniknya, mereka tidak hanya bisa berbicara dan berperangai layaknya manusia. Tapi juga jago bela diri berkat pelatihan Ninjutsu oleh tikus bernama Splinter.

Mau tidak mau, April lalu terlibat rencana empat kura-kura ninja bernama Leonardo, Michaelangelo, Donatello dan Raphael tersebut untuk menggagalkan rencana busuk Shredder menguasai kota. Meski untuk itu harus terlebih dahulu menghadapi gerombolan Foot Clan yang tak segan-segan menghabisi nyawa mereka.

The Turtle’s back! Setelah feature terakhir bertajuk TMNT yang memasang nama Sarah Michelle Gellar dan Chris Evans pada Maret 2007, kuartet kura-kura  penumpas kejahatan kembali hadir melalui reboot bertajuk TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES. Film yang kehadirannya sudah diumumkan pada Oktober 2009 setelah hak cipta franchise dijual pada Nickelodeon ini disutradarai oleh Jonathan Liebesman dengan Michael Bay duduk di kursi produser.

Mengetahui nama Michael Bay tercantum di belakang layar, tentu kita akan bertanya bakal seperti apa film ini. Terutama yang sudah familiar dengan formula filmmaker kelahiran 17 Februari 1965 tersebut, pasti sangat mengantisipasi kehebohan apalagi yang akan ditampilkan (selain fakta reuni Bay bersama Megan Fox pasca perseteruan berbuntut didepaknya wanita seksi ini dari TRANSFORMERS 3, omong-omong).

Reboot TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES tak dinyana cukup menyenangkan untuk ditonton. Dengan pace cukup cepat, film mampu digulirkan dengan menarik walau skripnya klise dan tertebak. Unsur komedi pun berhasil memancing tawa terutama dari sikap konyol Mikey alias Michaelangelo.

Namun Michael Bay tampaknya tidak menyetir Johnatan Liebesman cukup banyak meski masih terasa aura Bay-esque di beberapa bagian. Contoh kasusnya ketika Megan Fox yang diplot sebagai April tetap tampil cantik tanpa cela dengan rambut terurai indah meski sudah melalui berbagai adegan ekstrem. Hal ini juga terjadi di dua seri TRANSFORMERS, kalau kamu lupa.

Sementara itu aksi baku hantam dan visual efek yang ditawarkan tergolong tidak kelebihan dosis. Atau mungkin disimpan untuk kehadiran sekuel yang sudah bisa tertebak jika kamu cukup cermat mengamati. Yang pasti, sebagai sajian minggu-minggu akhir musim panas (terutama bagi fanboy dan anak-anak serta remaja), film yang berawal dari komik kreasi Peter Laird dan Kevin Eastman rilisan Mei 1984 sangat segar dan menghibur.
Selengkapnya -->

Film Indonesia Rilis Bulan Agustus 2014

0 komentar
Meski euforia beberapa film pengisi libur Lebaran belum juga berakhir, namun beberapa film baru telah siap menyapa di bulan Agustus ini. Setidaknya sembilan film akan diluncurkan dengan highlight pada film satir politik yang menandai kembalinya Lola Amaria di bangku penyutradaraan, produksi kerjasama Brunei-Indonesia untuk film komersil pertama yang dimiliki Brunei, extended version dari Soekarno: Indonesia Merdeka, serta film komedi berlatar Singapura yang diramaikan Olga dan sahabat-sahabatnya.

Untuk lebih lengkapnya, inilah film-film Indonesia yang dirilis pada Agustus 2014:


1. Hantu Pohon Boneka

Sinopsis :  Sepeninggal sang ayah, Lisa bersama ibu dan adik-kakaknya memutuskan untuk pindah rumah. Dalam perjalanan menuju rumah baru, mereka melewati Pohon Boneka, sebuah pohon misterius yang digantungi banyak boneka. dan tanpa sengaja melanggar pamali. Tidak terjadi apapun sampai Lisa menyadari ada yang berbeda dari adiknya, Vivi, dan serangkaian kejadian aneh pun terjadi. Gangguan yang semula kecil, perlahan-lahan semakin mengancam keselamatan penghuni rumah.
Sutradara : Nayato Fio Nuala
Penulis Naskah : Baskoro Adi
Pemain : Nana Mirdad, Stuart Collin, Ayu Dyah Pasha, Icha Anisa, Reska Tania
Tanggal rilis : 7 Agustus 2014


2. Suka Suka Super Seven dan Idola Cilik dalam Habis Gelap Menuju Terang

Sinopsis :  Film ini mengisahkan tiga cerita. Di antaranya tentang Super 7 saat dilanda krisis. Dibantu oleh manajemen, mereka mengunjungi rumah singgah penderita kanker dan daerah kumuh di Jakarta yang lantas menyadarkan mereka bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan.
Sutradara : Geri Busye
Penulis Naskah : Geri Busye
Pemain : Super 7, Bastian Bintang Simbolon, Tissa Biani, Chelsea Terriyanto, Bagas RD Saputra
Tanggal rilis : 7 Agustus 2014


3. Mengejar Malam Pertama

Sinopsis : Doni, seorang cowok narsis berotak mesum anti komitmen, harus segera menikah demi memenuhi permintaan sang ibu. Yang menjadi kendala, Doni belum memiliki calon dan audisi pencarian istri yang digelarnya pun tak membuahkan hasil. Tanpa sengaja, dalam sebuah kesempatan, Doni bertemu Gysta, putri dari teman lama sang ibu. Keduanya dijodohkan. Setelah ijab Kabul dan resepsi selesai, Doni dan Gysta menghadapi momen penting yang selalu ditunggu oleh semua pasangan pengantin baru: malam pertama. Jutaan bayangan indah tentang malam pertama mendadak runyam dengan berbagai gangguan tak terduga. Dalam perjuangan mengejar malam pertama inilah, Doni justru mendapatkan banyak pelajaran indah tentang sebuah pernikahan yang bukan hanya tentang seks semata.
Sutradara : Fransiska Fiorella
Pemain : Acha Septriasa, Ananda Omesh, Anwar Fuady, Dallas Pratama, Pangky Suwito
Penulis Naskah : Wenda Koiman
Tanggal rilis : 14 Agustus 2014


4. Negeri Tanpa Telinga

Sinopsis : Naga, seorang tukang pijat yang sangat mencintai istrinya terlibat dalam kegilaan politik yang tidak diinginkannya lantaran terlalu banyak mendengar; Ketua Partai Amal Syurga bekerja sama dengan importir daging domba berusaha memanipulasi uang negara untuk keuntungan partainya, dan Piton dari Partai Martobat yang berambisi besar menjadi presiden berusaha mendapatkan dana sebanyak-banyaknya dengan menggunakan pengaruhnya di parlemen.
Sutradara : Lola Amaria
Penulis Naskah : Indra Tranggono, Lola Amaria
Pemain : Teuku Rifnu Wikana, Ray Sahetapy, Jenny Zhang, Lukman Sardi, Tanta Ginting, Kelly Tandiono
Tanggal rilis : 14 Agustus 2014


5. Soekarno: Extended Version

Sinopsis : Versi lebih panjang, kurang lebih sekitar 14 menit, yang memuat adegan-adegan dipotong dari film Soekarno: Indonesia Merdeka yang dirilis pada Desember tahun lalu.
Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis Naskah : Hanung Bramantyo, Ben Sihombing
Pemain : Ario Bayu, Lukman Sardi, Maudy Koesnaedi, Tika Bravani, Tanta Ginting
Tanggal rilis : 14 Agustus 2014


6. Taman Langsat Mayestik

Sinopsis : Tidak puas dengan pemilihan pemain di film garapannya, seorang sutradara mengajak timnya untuk melakukan semacam audisi di salah satu lokasi angker, Taman Langsat Mayestik. Keputusan ini lantas harus dibayar mahal oleh tim produksi saat kejadian demi kejadian aneh, ganjil, dan menyeramkan mulai menimpa mereka. Bahkan, penunggu taman pun tak segan-segan meminta tumbal nyawa.
Sutradara : Eka Katili
Produser : KK Dheeraj
Pemain : Metta Permadi, Ki Joko Bodo, Fauzi Imam, Andreano Philip, Hendra Xoix
Tanggal rilis : 21 Agustus 2014


7. Yasmine
Sinopsis : Kekecewaan karena cinta dan tidak berhasil memasuki sekolah unggulan dilampiaskan Yasmine dengan bergabung di sebuah klub silat bersama kedua sahabatnya. Di bawah bimbingan pelatih silat, Yasmine dan sahabatnya berlatih dengan giat untuk kejuaraan silat tingkat nasional. Pada mulanya semua aktivitas Yasmine ini disembunyikan dari sang ayah, Fahri. Tapi lambat laun, Fahri mengetahui semua kegiatan Yasmine dan memutuskan untuk menghentikan aktivitas Yasmine sebagai upaya menyelamatkan Yasmine dari kejatuhannya sendiri meskipun ada rahasia besar yang Fahri simpan erat-erat dari Yasmine.
Sutradara : Siti Kamaluddin
Penulis Naskah : Salman Aristo
Pemain : Liyana Yus, Reza Rahadian, Roy Sungkono, Dwi Sasono, Agus Kuncoro, Nadiah Wahid
Tanggal rilis : 21 Agustus 2014
Catatan : Film komersil pertama asal Brunei yang merupakan produksi joint venture Brunei-Indonesia dengan melibatkan sejumlah pekerja film asal Indonesia.


8. Ma'rifat Cinta
Sinopsis : Ambisi Arumi untuk meraih cintanya, menjadikan dia keras kepala. Lukman, yang sangat dikagumi Arumi, menikah dengan Jean, kekasih yang sudah lama dipacarinya. Tiga tahun berselang, Arumi dipertemukan kembali dengan Lukman di kampus tempat mereka dulu sama-sama belajar. Lukman menjadi dosen dan Arumi aktif membantu semua kegiatan kampus. Kehadiran Lukman membuat Arumi semakin yakin bahwa dia akan mendapatkan Lukman, meskipun harus menerobos takdir.
Sutradara : Fernes Feriana
Produser : Partono Wiraputra
Pemain : Intan Permata Dewi, Waqid Shebly, Ryan Putri, Olivia Zalianty, Misye Arsita
Tanggal rilis : 28 Agustus 2014


9. Olga & Billy Lost in Singapore

Sinopsis : Tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta, Olga mengajak adiknya, Billy, berlibur sejenak ke Singapura. Sesampainya di sana, ketika Olga berniat mengajak Billy berkeliling bersama Tara, Billy tiba-tiba menghilang. Terpisah dari rombongan lantaran kelewat sok tahu. Billy pun luntang lantung tak tentu arah, sementara Olga panik. Di tengah kondisi yang memusingkan dan melelahkan ini, Billy berjumpa dengan Anggrek, mahasiswi asal Singapura. Perkenalan yang diawali rasa saling tidak suka ini perlahan tapi pasti memperlihatkan percik-percik asmara seiring berjalannya waktu.
Sutradara : Ronny Mepet
Produser : Gope T Samtani
Pemain : Olga Syahputra, Raffi Ahmad, Billy Syahputra, Syahnaz Shadiqa, Tarra Budiman, Chand Kelvin
Tanggal rilis : 28 Agustus 2014
Selengkapnya -->

Gambar Hidoep dari Masa ke Masa

0 komentar

Pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1900-an masyarakat kita sudah mengenal adanya film atau yang lebih dikenal dengan “Gambar Hidoep”. Hal ini dibuktikan dengan adanya koran Bintang Betawi No.278, 5 Desember 1900 yang memuat iklan bioskop. Seni pertunjukkan film pada masa itu diselenggarakan oleh orang Belanda. Jenis bioskop terbagi menjadi tiga golongan berdasarkan status penonton, yaitu bioskop untuk orang Eropa, bioskop orang menengah, dan golongan orang pinggiran. Pada tahun 1925 sebuah artikel di koran masa itu, De Locomotif, memberi usulan untuk membuat film. Pada tahun 1926 dua orang Belanda bernama L. Heuveldorp dan G.Kruger mendirikan perusahaan film, Java Film Coy di Bandung dan pada tahun yang sama mereka memproduksi film pertamanya berjudul Loetoeng Kasarung (1926), yang diangkat dari legenda Sunda. Film ini tercatat sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia dan ini dianggap sebagai sejarah awal perfilman Indonesia. Film ini diputar perdana pada 31 Desember 1926. Film berikutnya yang diproduksi adalah Eulis Atjih (1927) berkisah tentang istri yang disia-siakan oleh suaminya yang suka foya-foya.

Dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan studio film yang dinominasi oleh orang-orang Cina. Pada tahun 1928 Wong Brothers dari Cina (Nelson Wong, Joshua Wong, dan Othniel Wong) mendirikan perusahaan film bernama Halimun Film dan memproduksi film pertamanya Lily Van Java (1928). Film ini berkisah tentang seorang gadis Cina yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya, padahal ia telah memiliki kekasih. Film ini sendiri kurang disukai oleh penonton pada masa itu. Wong Brothers akhirnya mendirikan perusahaan film baru bernama Batavia Film. Selain Wong Brothers, ada pula Tan’s Film, Nansing Film dan perusahaan milik Tan Boen Swan. Nansing Film dan perusahaan Tan Boen Swan memproduksi Resia Borobudur (1928) dan Setangan Berloemoer Darah (1928).

Setelah L.Heuveldorp menarik diri, G.Kruger mendirikan perusahaan film sendiri bernama Kruger Filmbedriff, yang memproduksi, Karnadi Anemer Bangkong (1930) dan Atma De Visher (1931). Selain itu orang Belanda lainnya yaitu F.Carli yang mendirikan perusahaan film bernama Cosmos Film Corp atau Kinowerk Carli yang memproduksi De Stem des Bloed (Nyai Siti, 1930) yang berkisah mengenai orang Indo, lalu juga Karina’s Zelfopoffering (1932). Sedangkan Tan’s Film dan Batavia Film pada tahun 1930 memproduksi Nyai Dasima (1930), Si Tjonat (1930), Sedangkan Halimun film memproduksi Lari Ke Arab (1930).

Masuk era film bicara, tercatat dua film tercatat sebagai film bicara Indonesia pertama adalah Nyai Dasima (1931) yang di-remake oleh Tan’s Film serta Zuster Theresia (1931) produksi Halimun Film. Masa ini juga muncul The Teng Chun yang mendirikan perusahaan The Teng Chun ”Cino Motion Pict” dan memproduksi Boenga Roos dari Tjikembang (1931) dan Sam Pek Eng Tai (1931). Sasarannya adalah orang-orang Cina dan kisahnya pun masih berbau budaya Cina. Sementara Wong Brothers juga memproduksi Tjo Speelt Voor de Film (1931). Sedangkan Kruger dan Tans’s berkolaborasi memproduksi Terpaksa Menikah (1932). Di penghujung tahun 1932 beredar rumor kuat akan didirikan perusahaan film asal Amerika. Semua produser menjadi takut karena tak akan bisa menyaingi dan akhirnya Carli, Kruger dan Tan’s Film berhenti untuk memproduksi film. Studio yang masih bertahan adalah Cino Motion Picture.

Beberapa tahun setelahnya muncul seorang wartawan Albert Balink yang mendirikan perusahaan Java Pasific Film dan bersama Wong Brothers memproduksi Pareh (1935). Film ini dipuji pengamat namun tidak sukses komersil. Balink dan Wong akhirnya sama-sama bangkrut. Pada tahun 1937, Balink mendirikan studio film modern di daerah Polonia Batavia yang bernama ANIF (Algemeene Nederland Indie Film Syndicaat) dan memproduksi Terang Boelan/Het Eilan der Droomen (1937). Film ini berkisah tentang lika-liku dua orang kekasih di sebuah tempat bernama Sawoba. Sawoba adalah sebuah tempat khayalan yang merupakan singkatan dari SA(eroen), Wo(ng), BA(link) yang tak lain adalah nama-nama penulis naskah, penata kamera, editor, dan sutradaranya sendiri. Walau meniru gaya film Hollywood The Jungle Princess (1936) yang diperankan Dorothy Lamoure namun film ini memasukkan unsur lokal seperti musik keroncong serta lelucon yang diadaptasi dari seni panggung. Film ini sukses secara komersil dan distribusinya bahkan sampai ke Singapura. Pemeran utama wanitanya, Rockiah setelah bermain di film ini menjadi bintang film paling terkenal pada masa itu. Kala ini Terang Boelan (1937) adalah film yang amat populer sehingga banyak perusahaan yang menggunakan resep cerita yang sama.

Pada tahun 1939 banyak bermunculan studio-studio baru seperti, Oriental Film, Mayestic Film, Populer Film, Union Film, dan Standard Film. Film-film populer yang muncul antara lain Alang-alang (1939) dan Rentjong Atjeh (1940). Pada masa ini pula kaum pribumi mulai diberi kesempatan untuk menjadi sutradara yang perannya hanya sebagai pelatih akting dan dialog. Justru yang paling berkuasa pada masa itu adalah penata kamera yang didominasi orang Cina. Pada era ini pula muncul kritik dari kalangan intelek untuk membuat film yang lebih berkualitas yang dijawab melalui film, Djantoeng Hati (1941) dan Asmara Moerni (1941). Para pemain dari kedua film ini didominasi kaum terpelajar namun karena dirasa terlalu berat, para produsen film akhirnya kembali ke tren awal melalui film-film ringan seperti Serigala Item (1941), Tengkorak Hidup (1941).

 Pada akhir tahun 1941, Jepang menguasai Indonesia. Semua studio film ditutup dan dijadikan media propaganda perang oleh Jepang. Jepang mendirikan studio film yang bernama Nippon Eiga Sha. Studio ini banyak memproduksi film dokumenter untuk propaganda perang. Sementara film cerita yang diproduksi antara lain Berdjoang (1943) yang disutradarai oleh seorang pribumi, Rd. Arifin namun didampingi oleh sutradara Jepang, Bunjin Kurata. Pasca kemerdekaan RI pada tahun 1945, studio film milik Jepang yang sudah menjadi kementerian RI direbut oleh Belanda dan berganti nama Multi Film. Film-film yang diproduksi antara lain Djauh Dimata (1948) dan Gadis Desa (1948) yang diarahkan oleh Andjar Asmara. Di era ini pula muncul nama Usmar Ismail yang kelak akan menjadi pelopor gerakan film nasional. Pada tahun ini pula, 1949, para produser Cina lama mulai berani mendirikan studio lagi. The Theng Chun dan Fred Young mendirikan Bintang Surabaja. Tan Koen Youw bersama Wong mendirikan Tan & Wong Bros. Salah satu film produksi Tan & Wong Bros yang populer adalah Air Mata Mengalir Di Tjitarum (1948).

Era 1950-1980an

Pada tahun 1950 dibentuklah Perfini (Perusahaan Film Nasional). Perfini merupakan perusahaan film pertama milik pribumi. Beberapa bulan kemudian dibentuk pula Persani (Perseroan Artis Indonesia).  Film pertama produksi Perfini adalah Long March Of Siliwangi atau Darah dan Doa (1950) yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Syuting pertama film film ini tanggal 30 Maret 1950, kelak ini dijadikan sebagai hari film nasional. Sementara produksi besar lainnya adalah ”Dosa Tak Berampun” (1951). Dalam dua tahun saja, Persani telah memiliki studio yang mewah dan megah. Studio ini merupakan studio film terbesar di Indonesia kala itu. Usmar Ismail dan Djamaludin Malik nantinya akan ditetapkan sebagai Bapak Perfilman Nasional (resmi pada tahun 1999).

Antara tahun 1954-1955 Perfini mengalami krisis finansial. Film arahan sutradara Usmar Ismail, Krisis (1953) walau sukses komersil namun tetap saja tak mampu menutup hutang bank. Pada masa ini pula muncul kritik terhadap film-film produksi studio milik orang Cina yang memproduksi film bermutu sangat rendah. Salah satunya adalah film Tans & Wong berjudul Topeng Besi (1953) yang diproduksi dengan biaya sangat murah. Namun di sisi lain, film-film dalam negeri juga bisa mulai bersaing dengan film-film impor dari Malaysia, Filipina, dan India.

Pada Tahun 1954, Usmar dan Djamaludin mempelopori berdirinya PPFI (Persatuan Perusahaan Film Nasional), lalu juga menjadi anggota FPA (Federatuion Of Motion Picture Produsers in Asia). Persani dan Perfini bersama-sama memproduksi film Lewat Djam Malam (1954) disutradarai oleh Usmar Ismail. Film ini bercerita tentang mantan pejuang kemerdekaan yang menghadapi kekecewaan terhadap orang-orang seperjuangannya yang berubah menjadi seseorang yang tidak mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan dengan susah payah. Konon film ini akan dikirim ke Festival Film Asia di Tokyo namun pemerintah Indonesia melarang karena masa itu kita tengah konflik dengan pemerintah Jepang.
 Pada tahun 1955 PPFI untuk pertama kalinya menyelenggarakan Festival Film Indonesia (FFI) tercatat merupakan festival film pertama yang diselenggarakan di tanah air. Terpilih film terbaik adalah Lewat Djam Malam (1954). Namun sayangnya Usmar Ismail tidak mendapat penghargaan apa pun dalam ajang ini. Film ini rencananya akan diputar di festival film Cannes pada 16-27 Mei 2012 setelah direstorasi penuh. Pada tahun 1955 film produksi Perfini Tamu Agung (1955) mendapat penghargaan  khusus komedi terbaik pada ajang bergengsi Festival Film Asia.

Sejarah juga mencatat awal bulan Maret tahun 1956 para pemain dan pekerja film membentuk PARFI (Persatuan Artis Film Nasional). Pada tahun 1957, PPFI memutuskan untuk menutup studio film mereka karena tak ada dukungan dari pemerintah kala itu. Djamaludin Malik ditangkap tanpa alasan yang jelas. Studio Perfini disita bank karena tidak mampu membayar hutang. Setelah diadakan perundingan dengan pemerintah pada tanggal 26 April 1957 akhirnya studio dibuka kembali. Namun kondisinya tidak seperti dulu dan kondisi perfilman nasional menjadi lumpuh. Hasil negoisasi dengan pemerintah berupa janji pemerintah akan adanya kementerian khusus untuk membina para insan film baru dipenuhi pemerintah 7 tahun setelahnya.

 Pada masa bersamaan sekitar tahun 1957 kondisi politik di Indonesia didominasi golongan komunis PKI atau sering disebut golongan kiri. Golongan kiri juga ingin menguasai dunia perfilman kala itu. Mereka mendirikan Sarfubis (Sarikat Buruh Film dan Sandiwara) namun kelompok ini tidak efektif di pasaran. Kala itu juga terjadi pertikaian antara PARFI dan golongan kiri. Usmar Ismail  dan Djamaludin Malik sangat antipati dengan komunis. Sementara golongan kiri mengganggap kematian film nasional disebabkan impor film Amerika ke Indonesia. Golongan kiri juga menuduh Usmar Ismail sebagai agen Amerika. Walaupun kondisi perfilman Nasional semakin krisis, beberapa film masih diproduksi. Usmar Ismail pada tahun 1956 mengarahkan Tiga Dara (1957) yang dirilis setahun setelahnya.

Pada tahun 1960-an dunia perfilman di Indonesia pecah menjadi dua blok, yakni golongan Usmar dan rekan-rekannya dengan golongan kiri. Pada tahun 1962, Djamaludin Malik yang telah bebas dari penjara, menyelenggarakan FFI yang kedua serta mendirikan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) dengan Ketua Umum Usmar Ismail. Film-film populer yang muncul di masa pelik ini antara lain Pedjoang (1960) dan Anak-anak Revolusi (1964) karya Usmar Ismail. Pada tahun 1961, Pedjoang mendapat penghargaan pemeran pria terbaik (Bambang Hermantpo) di ajang Festival Film International di Moskow. Film fenomenal lainnya adalah Pagar Kawat Berduri (1961) dan Tauhid (1964) karya Asrul Sani. Golongan kiri menuntut agar film Pagar Kawat Berduri (1961) ditarik dari peredaran, karena dianggap dapat membuat orang bersimpati pada Belanda. Lalu juga ada Piso Surit (1960) dan Violtta (1962) karya Bahctiar Siagian, serta Matjan Kemayoran (1965) karya Wim Umboh.

Pada tahun 1964 untuk pertama kalinya diadakan Festival Film Asia Afrika (FFAA) di Jakarta. Golongan kiri yang menguasai seluruh kepanitiaan FFAA mencetuskan berdirinya PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika). Tujuan PARFIAS adalah melarang beredarnya film-film produksi Amerika dan sekutunya di bioskop-bioskop Indonesia. Kondisi ini membuat bioskop-bioskop lokal dipenuhi film-film asing dari Rusia, Eropa Timur, dan RRC. PARFIAS sendiri juga tak mampu menggangkat perfilman Indonesia, sehingga kondisi bioskop kala itu sepi pengunjung.

Setelah PKI ditumpas,kondisi industry film kita sedang mati suri maka untuk mengangkat perfilman nasional, sejak tahun 1967, kementerian penerangan mulai bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya. Hasilnya, film-film lokal bergairah kembali. Tahun 1967, Wim Umboh memproduksi film berwarna Indonesia pertama yang berjudul Sembilan (1967) yang diproduksi dengan biaya sangat tinggi. Tahun 1969 pemerintah juga memproduksi film-film percontohan yang diharapkan dapat mengangkat perfilman nasional, seperti Apa Jang kau Tjari Palupi?(1969) karya Asrul Sani, Djambang Mentjari Naga Hitam (1968) karya Lilik Sudjio, Mat Dower (1969) karya Nya Abbas Acup, Nyi Ronggeng (1969) dan Kutukan Dewata (1969) karya Alam Surawidjaya. Hasilnya ternyata cukup positif, pada tahun 1969 produksi film hanya 9 judul, tahun 1970 meningkat menjadi 20 judul, dan tahun 1971 meningkat menjadi 52 judul. Awal tahun 70-an, tokoh-tokoh film nasional seperti Usmar Ismail dan Djamaludin Malik telah tiada. Djamaludin Malik meninggal pada Juni 1970 dan tak lama kemudian Usmar Ismail juga berpulang.

Tahun 1970 muncul desakan kepada pemerintah dari industri perfilman agar sensor terhadap film Indonesia dilonggarkan seperti perlakuan pada film-film impor. Maka muncul film-film yang memasukkan unsur erotisme seperti Djambang Mentjari Naga Hitam (1968) dan Bernafas Dalam Lumpur (1970). Kedua film yang juga telah diproduksi berwarna ini ini merupakan pelopor dari film-film yang mengutamakan adegan berbau seksual dan penuh dengan adegan aksi yang kejam. Namun pada akhir tahun 1972, Badan Sensor Film kembali bersikap tegas terhadap film-film yang berbau seksual.

Sutradara Teguh karya memulai debutnya melalui Wadjah Seorang Lelaki (1971). Film ini dipuji pengamat namun tidak sukses komersil. Teguh adalah seorang sutradara teater yang kelak menjadi sutradara berpengaruh di era 1980-an. Sementara sineas kawakan lainnya, Wim Umboh memproduksi film Pengantin Remadja (1971) yang sukses secara komersil. Pada Tahun 1973 dipelopori oleh Sumardjono diselenggarakan kembali FFI yang sempat vakum beberapa tahun. Hingga tahun 1980-an pemenang FFI masih didominasi oleh sineas-sineas seperti Wim Umboh, SyumanDjaya, Teguh Karya, serta Asrul Sani. Namun pada era ini juga sudah muncul sutradara-sutradara muda seperti, Ismail Subardjo, Slamet Raharjo, dan Franky Rorempandey. Film-film yang populer tahun 70-an diantaranya Ratapan Anak Tiri (1973), Bing Slamet  Koboi Cengeng (1974), Karmila (1976) serta, Inem Pelayan Sexy (1977).

Era 1980-1999

Pada era 1980-an hingga awal 1990-an film-film yang paling populer masa ini adalah film-film komedi slapstick yang dibintangi oleh grup lawak legendaris, Warkop DKI, yakni Dono, Kasino, Indro seperti Mana Tahaaan.. (1979), Setan Kredit (1981), Tahu diri Dong (1984), Maju Kena Mundur Kena (1983) dan Sabar Dulu dong (1989). Dengan gaya banyolan yang unik dan konyol, Warkop telah memproduksi lebih dari 30 film dan hampir seluruhnya sukses komersil. Pada masa ini juga populer genre horor yang dipelopori sang ratu horor, Suzanna, seperti, Sundel Bolong (1981), Malam Jumat Kliwon (1986), dan Malam Satu Suro (1988). Film aksi fantasi sejarah, Saur Sepuh: Satria Madangkara (1987), yang diadaptasi dari sandiwara radio populer juga sukses besar dengan empat sekuelnya. Aktor laga, Barry Prima juga sukses dengan film aksi sejenis melalui Jaka Sembung (1981) dengan tiga sekuelnya. Sementara film remaja Catatan Si Boy (1987) yang dibintangi Onky Alexanderd dan Meriam Bellina, juga sukses besar dengan empat sekuelnya.

Sementara itu muncul pula film-film drama berkualitas dari sutradara-sutradara berpengaruh pada masa ini seperti, Doea Tanda Mata (1984) karya Teguh Karya, Matahari-Matahari (1985) karya Arifin C Noer, Tjoet Nyak Dien (1986) karya Eros Djarot, Kodrat (1986), karya Slamet Rahardjo Djarot, Kejarlah daku Kau Kutangkap (1985) karya Chaerul Umam, serta Nagabonar (????) karya Deddy Mizwar. Sementara Pengkhianatan G-30-S PKI (1982) karya Arifin C. Noer yang merupakan film propaganda fenomenal, menjadi film terlaris era 80-an dan kelak selalu diputar di televisi nasional tiap tahunnya selama era Orde baru.

Dimulai awal dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an kondisi perfilman Indonesia mati suri dengan menurunnya jumlah produksi film nasional terutama sekali karena munculnya TV swasta di akhir era 80-an. Sejak Tahun 1993, FFI tidak lagi diselenggarakan karena minimnya produksi. Di tengah kondisi serba sulit ini sejak awal 90-an hingga tahun 1997, muncul film-film erotis berkualitas rendah yang mengeksploitasi seks semata dengan judul-judul yang bombastis, sebut saja macam Gadis Metropolis (1992), Ranjang yang Ternoda (1993), Gairah Malam (1993), Pergaulan Metropolis (1994), Gairah Terlarang (1995), Akibat Bebas Sex (1996), Permainan Erotik (1996), serta Gejolak Seksual (1997).

Namun film-film drama berkualitas masih muncul seperti seperti Taksi (1990) Arifin C Noer, Sri (1997) sutradara Marselli Sumarno, Telegram (1997) karya Slamet Raharjo Djarot, serta Badut-Badut Kota (1993) karya Ucik Supra. Garin Nugroho juga memulai debutnya dengan film-filmnya seperti Cinta Dalam Sepotong Roti (1990), Daun di Atas Bantal (1997), dan Puisi Tak Terkuburkan (1999). Dewan Film Nasional juga membiayai Bulan Tertusuk Ilalang (1994) karya Garin Nugroho dan Cemeng 2005 (1995) karya sutradara N. Riantiarno untuk menggairahkan kembali perfilman nasional seperti yang telah dilakukan pada era 60-an silam. Sementara dari kalangan sineas independen, muncul sineas-sineas intelek muda yang kelak berpengaruh pada dekade mendatang seperti Riri Reza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, dan Nan Acnas dengan memproduksi Kuldesak (1997).

Era 2000 - Sekarang

Pasca reformasi dianggap sebagai momentum awal kebangkitan perfilman nasional. Momen ini ditandai melalui film musikal anak-anak Petualangan Serina (1999) karya Riri Reza serta diproduseri Mira Lesmana yang sukses besar di pasaran. Selang beberapa tahun diproduksi dua film fenomenal yang sukses luar biasa yang selanjutnya memicu produksi film-film lokal. Pertama adalah film horor Jelangkung (2001) karya sutradara Jose Purnomo dan Rizal Mantovani dan kedua Ada Apa Dengan Cinta? (2001) karya Sutradara Rudi Soedjarwo yang diproduseri oleh Mira Lesmana dan Riri Reza. AADC sukses fenomenal hanya dalam tiga hari diputar di Jakarta film ini telah meraih 62.217 penonton. Dua film ini dianggap sebagai film pelopor yang nantinya banyak bermunculan puluhan film-film dengan tema dan genre yang sama. Film bertema remaja dan film horor bahkan hingga kini masih membanjir dan laris di pasaran.

Sedangkan dari para pembuat film non mainstream (non komersil) muncul pula film-film alternatif. Beberapa diantaranya abstrak, kompleks, dan ceritanya sulit dipahami orang awam. Tema film yang diangkat biasanya merupakan kritik dan respon terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik di negara ini. Garin Nugroho adalah satu diantara sineas yang memilih di jalur ini, dan seringkali justru film-filmnya mendapat apresiasi di festival-festival luar negeri. Film-filmnya seperti Opera Jawa (2006), Under the Tree (2008), Generasi Biru (2008), serta Mata Tertutup (2012). Juga film-film semi abstrak seperti Novel Tanpa Huruf R (2003) dan Identitas (2009) karya Aria Kusumadewa.

Setelah vakum selama duabelas tahun, Festival Film Indonesia akhirnya mulai diselenggarakan kembali pada tahun 2004. Peraih Citra tahun 2006, Ekskul (2006) membuat kontroversi dengan menggunakan ilustrasi musik film-film populer barat seperti Gladiator, Bourne Supremacy, Taegukgi, dan Munich. Sebagai bentuk protes, para peraih Piala Citra tahun tersebut seperti Riri Reza, Mira Lesmana, dan lainnya melakukan aksi pengembalian Piala Citra. Mereka pulalah yang membentuk festival film tandingan, yakni IMA (Indonesian Movie Award) yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 2007.

Dari sedikit penjelasan diatas terlihat perkembangan perfilman Indonesia dari masa ke masa yang dinamis. Hingga saat ini sinema kita masih berjuang mencari bentuknya menuju industri film yang lebih mapan. Secara rata-rata, kualitas kita masih dibawah industri film negara Asia lainnya seperti Jepang, Hong Kong, Korea, bahkan Thailand. Secara teknis kita tidak kalah namun dari aspek cerita kita masih sangat lemah. Para sineas kita masih harus lebih banyak belajar dan jeli mencari celah untuk bisa bersaing dengan film-film dari negara lain. Sukses The Raid bisa menjadi secercah harapan, bukan hal yang mustahil film kita bisa menembus pasar internasional.
Selengkapnya -->

Review : Bajaj Bajuri the Movie

Rabu, 13 Agustus 2014
0 komentar
Apakah Anda masih teringat pada Bajaj Bajuri? Pertama kali mengudara di stasiun televisi Trans TV pada awal dekade 2000’an, sitkom ini begitu fenomenal dan digandrungi oleh beragam lapisan masyarakat kala itu lantaran tuturan kisahnya yang erat kaitannya dengan keseharian berpadu mulus bersama guyonannya yang membumi. Terwujud sebagai salah satu budaya populer di dunia hiburan Indonesia babak milenium baru, Bajaj Bajuri pun memproduksi barisan karakter ikonis yang meninggalkan kesan mendalam, melekat kuat di ingatan, berkat keunikannya masing-masing semacam Bajuri, Oneng, Ucup, Emak, Mpok Hindun, hingga Mpok Minah. Beberapa karakter ini pun telah merasuki jiwa – atau katakanlah, identik – dengan Mat Solar, Rieke Diah Pitaloka, serta Nani Wijaya sehingga beberapa kalangan memunculkan ‘fatwa haram’ merekonstruksi Bajaj Bajuri tanpa melibatkan ketiga pemain utamanya. Akan tetapi, lewat bendera Starvision Plus, Chand Parwez bersama Fajar Nugros malah justru nekat melanggar, mengambil resiko besar dengan hadirkan wajah-wajah baru saat mewujudkan Bajaj Bajuri the Movie.

Sejatinya, wacana menggotong sitkom ini ke medium layar lebar telah dipergunjingkan sejak sedekade silam. Disebabkan oleh satu dan lain hal, penundaan pun berulang kali menghadang membawa status proyek menjadi ‘development hell’. Terkatung-katung tiada kepastian selama menahun, secara mengejutkan awal tahun ini Starvision Plus mengajukan diri sebagai pelaksana dan memastikan Bajaj Bajuri the Movie akan hadir... dalam bentuk reboot. Tidak ada satu pun pemain dari versi sitkom yang diajak turut serta digantikan oleh pemain langganan Starvision Plus seperti Ricky Harun, Eriska Rein, dan Meriam Bellina. Tanda tanya besar pun segera mengemuka, sikap pesimisme pun segera menguasai diri. Jejak rekam kurang sedap dari sebagian pemain dikhawatirkan merusak ‘citra’ karakter-karakter ikonis dari Bajaj Bajuri. Harapan yang sempat timbul pun perlahan pupus, bahkan banyak pula penggemar berat mundur teratur. Apakah ini akan berhasil? Keraguan terjawabkan saat menyaksikan Bajaj Bajuri the Movie di layar bioskop.

Membawa latar penceritaan bertahun-tahun ke belakang sebelum celotehan dalam versi sitkomnya berlangsung, Bajaj Bajuri the Movie mengajak penonton menilik masa muda dari para karakternya sekaligus mengungkap beberapa pertanyaan tak terjawab. Mempertemukan kita pada Bajuri (Ricky Harun) dan Oneng (Eriska Rein) di masa awal membina rumah tangga. Hubungan keduanya berlangsung mesra meski Emak (Meriam Bellina) tak henti-hentinya merecoki. Bahkan, Emak tidak segan menanamkan pemikiran mengkhawatirkan pada Oneng yang polos; Bajuri akan kawin lagi. Yang dijadikan landasan utama adalah Bajuri memenangkan gugatan tanah warisan sebesar 500 juta rupiah di pengadilan. Berkaca dari masa lalu dan sekitar, laki-laki yang mendadak kaya biasanya tega meninggalkan keluarganya dan mencari istri baru. Dugaan ini semakin diperkuat setelah Oneng menerima telpon yang mengabarkan Bajuri telah memberi sejumlah perabotan mewah untuk seorang perempuan. Emosi membara, Emak pun berniat melabrak si perempuan ganjen dengan bantuan Susi (Surya Insomnia) tanpa tahu bahwa telepon tersebut sebetulnya dirancang Hani (Nova Eliza) untuk memancing Oneng ke perangkapnya demi meminta uang tebusan kepada Bajuri.

Tiada dinyana-nyana, kekhawatiran bahwa Bajaj Bajuri the Movie akan berakhir sebagai tontonan garing kriuk-kriuk gagal terbukti. Secara tepat, Fajar Nugros beserta tim berhasil menangkap esensi dari sitkomnya yang legendaris itu untuk dituangkan ke medium layar lebar. Selain mengembalikan sebagian besar karakter, humor yang dihidangkan pun sesuai jalur serial aslinya: membumi. Untuk menciptakan humor segar pula kocak, dipersiapkan bahan dasar bergaya main fisik (slapstick), tingkah polah serba berlebihan (baca: lebay), hingga celetukan-celetukan polos Oneng sebagai pemantik utamanya. Sejak menit pembukanya yang heboh – melibatkan bajaj yang berkejar-kejaran dengan seorang perampok – film telah meminta penonton agar menyiapkan diri tertawa tergelak tiada henti karena beragam kekonyolan akan datang silih berganti. Memang ada beberapa kali ‘hit and miss’ pula konsep chaos comedylayaknya Get Married bisa jadi sulit diterima oleh beberapa penonton, tapi bagi yang terbiasa dan kedarung akrab dengan celotehan sitkomnya, nostalgia yang ditawarkan oleh Bajaj Bajuri the Movie ini sungguhlah mengasyikkan. Hilarious! Terlebih, sebagai bentuk penghormatan, ada pula cameo pemain dari serial aslinya. Apakah Anda bisa menebak siapa mereka?

Lawakan dan gaya tutur yang dinamis ini tentu tiada artinya tanpa sokongan mumpuni dari jajaran pemainnya. Kapasitas berakting Meriam Bellina tentulah tidak perlu lagi diragukan karena, yah... dia Meriam Bellina. Keraguan yang selama ini membayangi berasal dari Ricky Harun dan Eriska Rein. Kapabilitas keduanya masih dipertanyakan. Terlebih tanggung jawab peran pun besar, diminta mengintepretasikan ulang peran yang melambungkan Mat Solar dan Rieke Diah Pitaloka. Bisakah? Tanggapan penonton yang semula dingin, bisa jadi lantas terlumerkan. Baik Ricky maupun Eriska memiliki caranya sendiri dalam menafsirkan karakter Bajuri serta Oneng tanpa perlu meniru sang pendahulu. Ricky Harun dengan aksen Betawi kental tanpa pernah menjadi kelewat berlebihan memberikan penampilan terbaik di karir aktingnya. Chemistry-nya dengan sejumlah pemain – Meriam, Eriska, serta Muhadkly Acho sebagai Ucup – terjalin meyakinkan. Sedangkan Eriska Rein, mencuri perhatian di setiap saat. Di tangannya, Oneng yang memegang peranan krusial terhadap nasib film dibawakannya secara luwes, natural, dan lucu. Jika predikat ‘naik kelas’ pada aktor layak disematkan pada Chicco Jerikho atas akting apiknya di Cahaya Dari Timur Beta Maluku, maka untuk aktris Eriska Rein di Bajaj Bajuri the Movie inilah yang layak menyandangnya.
Selengkapnya -->
 
Diberdayakan oleh Blogger.

postingan

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

------author------

yang ngikut

translite bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

© 2010 my.mus movie blogger Design by my.mus Artcybers
In Collaboration with moesleamSlimstationslee mind coll