memahami budaya maritim Indonesia

Di tengah serbuan film bergenre horor dan lebih menonjolkan sisi seksualitas, hadir sebuah karya film yang mengambil tema tentang tradisi, lingkungan dan kehidupan salah satu suku di Indonesia, Suku Bajo. Film ini diberi judul 'The Mirror Never Lies'.
Film yang dibintangi Atiqah Hasiholan, Reza Rahadian, dan pendatang baru, Gita Novalista, Eko dan Zainal ini lebih menghadirkan refleksi keindahan dan tantangan alam Wakatobi, salah satu wilayah di Sulawesi Tenggara, sebagai bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia.
''Sebenarnya, idenya terinspirasi dari keadaan laut, udah banyak tsunami di Indonesia dan dunia, dan saya dan Nadine (Chandrawinata) sama-sama pencinta laut. Sampai kita ketemu suku Bajo yang tinggal di atas laut,'' ujar Kamila Andini, sutradara film ini, saat menggelar jumpa pers di FX, Senayan, Jakarta, Selasa 26 April 2011.
Nadine sendiri, yang turut memproduseri film itu, mengaku beruntung karena diberi kesempatan untuk mengangkat tema seputar kecintaannya terhadap lingkungan. Terlebih, dengan film ini, dirinya merasa mendapat teman-teman baru yang satu tujuan untuk melestarikan alam.
"Ini film tentang keluarga. Kami tuangkan pesan moral ke anak-anak. Kami coba angkat ke permukaan agar bisa terlihat," ujar Nadine.

Tidak mudah menjinakkan alam Wakatobi. Menurut Sutradara Kamila Andini, mereka butuh waktu 3 tahun untuk menggarap film tentang keindahan laut ini.
"Prosesnya cukup lama, yaitu tiga tahun lamanya, dua tahun persiapan produksi. Kemudian mundur lagi karena cuacanya tidak mendukung, tiba-tiba hujan padahal kita butuh set di bawah matahari. Belum lagi banjir hingga empat meter, kita pun tidak ngapa-ngapain,” tutur perempuan kelahiran 6 Mei 1986.
Demi menjadikan film perdananya sebagai tontonan yang sempurna, Andini pun rela berlama-lama di Wakatobi demi mencari cuaca yang pas untuk syuting. Bahkan demi tenggat waktu, dia pun tak segan syuting di saat hujan turun.
“Biasanya dalam setahun, April sampai Oktober itu tidak hujan. Karena cuacannya enggak jelas jadi kami pun tetep nekat untuk syuting, enggak mungkin nunggu lagi. Bahkan saat take sering kali hujan turun, jadi tidak bisa ontime penggarapannya," kenang Andini.

Bagi Dini, secara khusus, film tersebut adalah salah satu wujud menyampaikan kegelisahannya. Selain itu, ini adalah kesempatannya untuk menyapa langsung suku Bajo.
"Kami angkat potret realita di sana. Masyarakat Bajo adalah suku yang unik, maka itu saya justru bangga karena akan menjadi keunikan dan ada sisi pendidikan juga," imbuhnya.
The Mirror Never Lies mengisahkan kehidupan seorang remaja suku Bajo bernama Pakis yang berjuang menemukan jati diri di tengah persoalan hidup yang dihadapi keluarga dan lingkungannya, terutama kehidupan laut yang terancam oleh dampak pemanasan global. Pakis yang tengah beranjak dewasa. Ia kehilangan ayahnya yang melaut dan belum kembali. Melalui ritual Bajo yang menggunakan cermin, Pakis bersama sahabatnya berupaya mencari jawaban akan keberadaan sang ayah. Sebaliknya, ibunya lebih pesimis dan realistis dalam menghadapi kenyataan.
Di tengah kebingungan ini, Pakis dan ibunya kerap berbeda pendapat. Konflik semakin sering terjadi ketika seorang peneliti lumba-lumba bernama Tudo datang di tengah mereka.
Rencananya, film ini akan diputar di bioskop tanah air secara serentak tanggal 5 Mei 2011.
"Film ini merupakan satu upaya memahami budaya laut atau maritim Indonesia. Ini kisah mereka yang hidup mengikuti laut. Laut memberi kabar baru dengan caranya sendiri. Inilah yang terpenting dari film ini," ujar Garin Nugroho, yang juga turut menjadi produser.

Film ini merupakan proyek perdana putri sulung Garin Nugroho. Namun kecintaannya telah membuatnya meraih kepercayaan pemerintah kabupaten Wakatobi dan pemda Sulawesi Tenggara untuk mendokumentasikan Wakatobi dalam sebuah cerita di layar lebar.
Tak hanya mendapat dukungan pemerintah, namun film yang disutradarai Kamila ini juga mendapat dukungan dari WWF (World Wildlife Fund)