Pengantar : Dalam perhelatan Apresiasi Film Indonesia 2013, dewan juri yang terdiri dari sembilan orang dengan berbagai latar belakang yang memutuskan siapa pemenangnya. Berikut ini adalah pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan itu dan penjelasan alasan-alasannya.
Dewan Juri, yang beranggotakan sembilan orang, bekerja berdasarkan Pedoman Apresiasi Film Indonesia 2013 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kendati demikian, kami melakukan penilaian dengan keleluasan dan kebebasan sepenuhnya.
Tentang tajuk utama “Apresiasi Film Indonesia Berbasis Nilai Budaya, Kearifan Lokal dan Pembangunan Karakter Bangsa”, kami menyatakan bahwa yang disebut “nilai budaya”, “kearifan lokal” dan “karakter bangsa” bukanlah kumpulan stereotipe, tapi nilai-nilai yang cair, selalu berubah, dan menuntut pewujudan yang baru—sejalan dengan aspirasi bangsa Indonesia untuk mencapai taraf kemajuan yang lebih tinggi.
Bagi kami, “film-film Indonesia berbasis nilai budaya, kearifan lokal dan pembangunan karakter bangsa” adalah film-film yang bergulat dengan berbagai kompleksitas dan komplikasi untuk menjadi Indonesia, mengucapkan aneka tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia mutakhir, dan menggali berbagai potensi yang disediakan oleh warisan budaya Nusantara maupun dunia.
Dengan demikian, film-film yang kami pertimbangkan untuk memperoleh penghargaan adalah yang menyajikan perspektif tajam-kritis akan aneka masalah-sosial budaya Indonesia. Bagi kami, film-film yang demikian itu berpotensi menyegarkan kreativitas perfilman Indonesia maupun memperbaharui komunikasi dengan publik pemirsa.
Pada akhirnya sebuah film dengan muatan apapun adalah karya seni yang dibuat dengan keterampilan dan kepiawaian, sebuah “bahasa” yang memiliki tradisinya sendiri. Itulah sebabnya, bagi kami, sebuah film yang hanya diperalat untuk menyampaikan pesan namun abai kepada bentuknya sendiri bukanlah film yang berhasil. Dengan kata lain, sebuah film yang baik tidaklah berkhotbah, bahkan tidak mengandung verbalisme.
Kendati demikian, perlu kami sampaikan bahwa Apresiasi Film Indonesia berkaitan erat dengan pendidikan dan kebudayaan. Dalam hal ini sikap kami sangat gamblang: kami tidak menyertakan film-film yang tidak sesuai dengan kode-kode pendidikan serta pengajaran anak-anak dan remaja. Oleh karenanya, film-film yang unggul secara mutu namun mengandung kekerasan, seks, horor, sadisme, dan sejenisnya, tidak masuk ke dalam ranah penilaian kami.
Bagi Dewan Juri, “apresiasi” adalah penghargaan terhadap kreativitas film yang berani meneropong seluk-beluk manusia Indonesia sekaligus membuka jalan-jalan baru kreativitas perfilman Indonesia dan mengubah resepsi penonton, sekalipun semua upaya ini memerlukan waktu dan proses untuk mencapai hasil maksimal.
Dewan Juri berkerja berdasarkan “daftar pendek” hasil penjaringan panitia dan seleksi Tim Ahli yang juga berpegang pada Pedoman Apresiasi Film Indonesia 2013, namun juga berunding dengan mereka untuk memperbaharui daftar-daftar tersebut, mengusulkan apa yang memang layak dinilai berdasarkan pengalaman kami menonton film dan mengamati perfilman Indonesia selama jangka waktu yang ditetapkan oleh Pedoman.
Penting untuk dikemukakan bahwa jumlah entri beberapa kategori yang berhasil dijaring panitia sangat sedikit, sehingga “daftar pendek” yang dihasilkan Tim Ahli sangat minim. Akibatnya, kami kesulitan memilih calon dan penerima penghargaan. Akan tetapi, sedikitnya calon dan ketiadaan penerima penghargaan di beberapa kategori kami yakini sama sekali tidak merepresentasikan kekayaan dan kesemarakan dunia film animasi, film pendek, dan film “independen” yang senyatanya.
Beberapa anggota Dewan Juri terlibat dalam entri yang dinilai. Hal yang memang sulit dihindari karena kami umumnya memang pekerja aktif di perfilman Indonesia. Tapi untuk memastikan obyektivitas penilaian, anggota yang terlibat dalam produksi atau kegiatan yang sedang dinilai dilarang mengikuti proses penilaian.
Di akhir catatan ini, kami ingin memberi catatan kritis mengenai kategorisasi yang disusun panitia. Istilah “film bioskop”, misalnya, sudah tidak sepenuhnya relevan karena kini jaringan bioskop besar pun kadangkala menayangkan film-film pendek. Begitu pula istilah “film independen”, yang sejatinya lebih mengacu pada sikap berkarya, bukannya modus produksi, sehingga tidak bisa dibedakan dengan “film bioskop” semata karena pilihan tempat penayangannya.
Melengkapi catatan ini, perkenankan Dewan Juri menyampaikan pertimbangan tentang para peraih penghargaan:
1. FILM CERITA BIOSKOP
Film Atambua 39 Derajat Celcius memiliki kekuatan isi dan estetika yang saling menunjang. Ketika sebagian besar film kita hanya mampu mengolah masalah di pusat-pusat pertumbuhan Indonesia atau sekadar mengalihkan masalah pusat itu ke lokasi lain di luar pusat, Atambua menukik ke persoalan mutakhir di wilayah pinggiran Indonesia, di Timor sebelah barat. Dalam film besutan Riri Riza ini, lokasi bukan lagi sekadar latar, namun jiwa film itu sendiri. Tak ada set yang dibuat. Tak ada melodrama. Tak ada eksotika sedikit pun. Film ini terwujud dari interaksi antara sutradara dan para pemain non-aktor, yaitu orang-orang yang hidup di habitat yang bersangkutan. Konsep penyutradaraan yang kuat menjadikan film ini sebuah fiksi “semi-dokumenter”, tentang anggota-anggota keluarga yang terpisah oleh kemerdekaan Timor Leste. Ia menjadi drama sosial yang menyentuh justru karena tidak diromantisir. Sebuah garapan sutradara-auteur yang kuat, yang membuka cara baru dalam menonton film.
2. FILM CERITA NONBIOSKOP
Sebagian besar film cerita kita dibuat untuk menjadi drama namun tergelincir menjadi melodrama. Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya membangun drama halus melalui percakapan bernada rendah dalam bahasa Jawa Ngoko dan seringkali diisi oleh kebisuan. Kamera mengikuti perjalanan para tokohnya, dan pada sebagian besar adegan kamera “mencuri gambar” dari belakang. Hasilnya adalah rangkaian monotoni, yang mengantar kita kepada klimaks halus tak teramalkan.
Sementara itu, waktu cerita, yang terasa seperi real time, terkelola dengan sangat baik oleh editing yang peka kepada rasa-tempat dan rasa-waktu. Sutradara Yosep Anggi Noen sangat berhasil membuat sebuah road movie yang sangat Indonesia tentang kisah asmara halus yang menahan diri namun menyiratkan lingkungan sosial lapisan bawah yang nyata.
3. FILM DOKUMENTER
Denok dan Gareng adalah jawaban yang tajam terhadap khazanah film dokumenter Indonesia yang selama ini didominasi oleh documentary journalism, di mana para pembuat film hanya datang, merekam, mewawancara, dan pergi. Film ini sangat berhasil memotret lingkungan pariah sosial di Yogyakarta, tanpa menjadikan para narasumber sebagai obyek untuk dikasihani. Mereka tidak diarahkan, tidak diwawancarai, tapi menampilkan berbagai persoalannya dengan wajar dan membentuk kisah dengan caranya sendiri, sebagai hasil keterlibatan mendalam sang sutradara dengan para narasumbernya.
Pendekatan documentary obsevatory yang digunakan membawa semangat pembaruan dalam pembuatan film dokumenter di Indonesia, sekaligus semacam penegasan keberhasilan melepaskan diri dari kungkungan lama. Film yang dibesut oleh Dwi Sujanti Nugrahani ini, dengan kata lain, merupakan terobosan penting dalam khazanah film dokumenter Indonesia.
4. FILM ANIMASI
Dua karya animasi yang kami tetapkan sebagai calon penerima penghargaan adalah karya-karya yang sudah menghasilkan seni rupa yang baik, yang bertolak dari khazanah warisan Nusantara. Namun, kedua karya terunggul tersebut baru menjanjikan potensi cerita, dan belum bercerita. Keduanya juga belum berhasil menjadi karya animasi yang mampu memancing imajinasi penonton buat membayangkan hal-hal yang belum terjadi. Itulah sebabnya kami tidak memilih penerima penghargaan.
Sebagaimana catatan di atas, kami tahu banyak animator kita sudah berkarya cemerlang dan memperoleh berbagai penghargaan bergengsi. Sayangnya, karya-karya yang masuk dan harus kami nilai memang di bawah standar karya animasi yang baik.
5. FILM ANAK-ANAK
Sesungguhnya film anak-anak adalah film dengan logika dan sudut pandang anak-anak. Bagi kami, tiga film yang dinilai dalam kategori ini tidak termasuk ke dalam pengertian itu. Film-film tersebut adalah film-film dengan tokoh-tokoh anak-anak, yang sayangnya hanya sekadar sebagai obyek. Dengan ukuran yang demikian, kami tidak menetapkan calon maupun penerima penghargaan.
Tanpa disengaja keputusan ini menjadi semacam penegasan (kembali) mengenai krisis film anak-anak, baik secara kuantitas maupun kualitas, yang telah berlangsung sangat lama. Seolah-olah anak-anak bukan merupakan bagian dari budaya sinema Indonesia.
6. FILM PENDEK
Halaman Belakang sangat efektif berkisah. Mengolah dunia sehari-hari tanpa dramatisasi berlebihan dengan ketrampilan yang baik. Hanya menggunakan warna hitam-putih—tanpa kata-kata pula—sutradara Yusuf Radjamuda dengan sangat tangkas menampilkan suasana siang hari di halaman belakang sebuah rumah: anak kecil mencangkung di jendela, perempuan yang mondar-mandir menjemur baju, dan ayunan kaleng di sebuah dahan. Repetisi dan kesenyapan adalah juga sebuah pernyataan tentang hidup santai yang didukung oleh sebuah lingkungan budaya.
7. ADIKARYA
Pemilihan penerima penghargaan Film Adikarya semestinya dijadikan langkah awal untuk menentukan karya-karya penting atau kanon dalam perfilman Indonesia, sebagai semacam landasan estetik bagi penciptaan film-film Indonesia yang berikutnya. Adikarya adalah karya yang mengubah modus kreativitas pada zamannya, dan memberi inspirasi bagi para pencipta berikutnya.
Oleh karena itu, Dewan Juri tidak menyertakan Lewat Djam Malam (1954) dalam penilaian karena menganggap karya Usmar Ismail itu sudah menjadi monumen bagi perfilman Indonesia dan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian kita bisa memperpanjang daftar kanon film Indonesia.
Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1970) adalah komentar sosial tentang kelas menengah yang baru tumbuh, yang dinyatakan melalui tokoh-tokoh seni dan pengusaha di awal Orde Baru. Secara tersirat film ini menggambarkan akibat dari peralihan politik dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru. Transisi sulit yang menghasilkan kelas menengah sebagai kelas pemenang, dan film ini secara sadar mengkritik apa yang disebut “kemenangan” dalam konteks saat itu.
Dialog-dialog yang bersifat sastra menjadi ciri khas film ini, menjadi sarana untuk menyatakan ironi yang melanda tokoh-tokoh yang hendak tampil selaku pembaharu masyarakat. Palupi sendiri adalah gabungan antara seorang proto-feminist dan femme fatale, simbol pembebasan diri perempuan dari kungkungan fungsi domestik—tokoh perempuan yang tak pernah digarap film-film Indonesia sebelumnya.
Karya Asrul Sani ini menyatakan dengan tegas bahwa sutradara adalah seorang pengarang, auteur, yang tidak tunduk kepada arus umum penciptaan yang dikendalikan pasar maupun politik resmi. Setelah Lewat Djam Malam, boleh dibilang inilah film yang mencoba menegakkan kembali prinsip bahwa film adalah karya seorang sutradara-auteur.
8. ADI-INSANI
Setelah Usmar Ismail melalui Darah dan Doa (1950) memperkenalkan bentuk baru film sebagai kesenian, Garin Nugroho adalah sineas Indonesia yang paling konsisten dan berhasil merintis wilayah-wilayah baru estetika dan muatan multikulturalisme dalam filmnya. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan dalam perfilman Indonesia yang sudah dibekuk oleh industrialisasi. Beberapa sutradara era 1970-an, antara lain Sjuman Djaja, Teguh Karya, dan Arifin C. Noer, pernah mencoba di film-film awal mereka, tetapi kemudian harus menyerah pada kepentingan pasar. Bahkan Usmar Ismail pun berhenti setelah Lewat Djam Malam (1954).
Secara sinematik, ciri dan jejak estetika Garin Nugroho bisa dikenali melalui shot-shot yang panjang, penyuntingan dalam shot melalui gerak kamera dan pemain, penggunaan banyak metafor, dan kesadaran multimedia yang tinggi. Karya puncaknya, Opera Jawa (2006), dari segi bentuk sama sekali baru, bahkan mungkin di kancah perfilman dunia.
Pola produksi, khususnya pendanaan, yang lebih mandiri alias tidak tergantung semata pada modal produser, menyebabkan Garin lebih leluasa untuk tidak melakukan kompromi dalam membuat film terutama sebagai alat ekspresi. Spiritnya ini kemudian menular pada banyak pekerja film lain yang juga menempati posisi terhormat dalam perfilman Indonesia terkini. Sebagaimana Garin, karya-karya mereka pun lebih diapresiasi di dunia internasional.
Kami menilai sudah waktunya bangsa ini mengakui Garin Nugroho sebagai salah satu putra terbaik dalam bidang kesenian, khususnya sinema.
9. SUTRADARA PERDANA FILM CERITA
Yosep Anggi Noen dalam Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya menunjukkan dirinya mampu bercerita lewat film, bukan sekadar mengilustrasikan sebuah gagasan. Ia paling berhasil mengatasi verbalisme ketimbang tiga sutradara calon penerima penghargaan lainnya. Film perdananya ini menyajikan cara bertutur baru dengan bahasa gambar melalui harmonisasi penceritaan yang kuat dan eksekusi visual yang efektif
Ia juga mengolah sarana-sarana yang “seadanya”, termasuk pemain-pemain tak profesional, dan menghasilkan karya dengan berlapis-lapis makna. Ia yang berciri auteur ini memiliki visi yang tajam tentang film cerita, dengan berhasil mengatasi berbagai stereotipe artistik.
10. KOMUNITAS
Berbasis di Purbalingga, Jawa Tengah, Cinema Lovers Community yang didirikan pada 2006 ini bergerak dalam aktivitas workshop, produksi, pemutaran, dan penyelenggaraan festival. Dari komunitas ini tidak habis-habisnya lahir bakat-bakat baru yang telah membuktikan diri mampu membuat film dan mendapat apresiasi baik di pelbagai ajang kompetisi film pendek di Indonesia. Namun, kontribusi terbesar dan terpenting komunitas ini ialah keberhasilannya membangun budaya sinema di kalangan generasi muda wilayah Banyumas Raya (Purwokerto, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara) yang hanya mempunyai satu gedung bioskop di Purwokerto.
11. POSTER FILM BIOSKOP
Keempat poster unggulan adalah karya-karya yang berhasil menghindar dari stereotipe poster perfilman Indonesia yang sekadar “menjual” wajah-wajah para pemeran. Poster film 5 cm mengungguli ketiga poster yang lain oleh karena ia, sambil menjadi karya desain grafis yang mandiri, memiliki daya sugesti yang kuat. Seraya membawa calon pemirsa kepada perihal mendaki gunung yang digarap filmnya, poster 5 cm juga membawa simbolisme tentang pendakian menuju kebajikan yang lebih tinggi.
12. MEDIA CETAK
Media memiliki kekuatan untuk memberi informasi dan menyebarluaskan pengetahuan kepada publik. Tapi sungguh langka media yang secara terus-menerus, konsisten, dan rutin memuat ulasan tentang film-film Indonesia. Tabloid Bintang Indonesia telah mendedikasikan dirinya sebagai “juru warta” yang baik bagi film-film Indonesia.
13. MEDIA NON-CETAK
filmindonesia.or.id bukan sekadar media dalam pengertian lazim yang menyebarkan pelbagai informasi mengenai isu-isu mutakhir perfilman Indonesia, termasuk sorotan mengenai film-film terbaru. Di dalamnya terdapat lumbung informasi paling lengkap dan mutakhir mengenai kekayaan perfilman Indonesia sejak 1926. Dengan statistik cukup mengesankan (rata-rata pengunjung 6.500 per bulan, follower akun Twitter lebih dari 78.000, dan menempati peringkat ke-3.491 di Indonesia dalam pengukuran alexa.com), situs internet ini juga seratus persen mendedikasikan dirinya hanya untuk film Indonesia.
14. LEMBAGA PENDIDIKAN
Perguruan tinggi yang ditaja oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini berdiri pada 1976 dan mempunyai tiga fakultas: Film dan Televisi (FFTV), Seni Rupa (FSR), dan Seni Pertunjukan (FSP). Dibandingkan empat calon penerima penghargaan lain yang relatif jauh lebih pendek usianya, Institut Kesenian Jakarta merupakan pemasok sumber daya manusia terbesar bagi perfilman Indonesia. Bukan hanya dari FFTV yang memang spesifik mendidik tenaga-tenaga ahli di bidang sinematografi dan produksi, tetapi juga dua fakultas lain, yaitu FSR yang melahirkan pekerja kreatif dan FSP yang menghasilkan sosok-sosok trampil di bidang peran.
15. FESTIVAL FILM
Berawal dari inisiatif HelloMotion Academy untuk membuat acara graduation show bagi siswa–siswinya, Hellofest makin membesar dan menjadi ajang kreativitas tingkat nasional di bidang animasi, film pendek, hingga pop culture. Bukan hanya ajang kompetisi dan pemutaran film-film finalis, festival ini juga berisi aneka kegiatan interaktif khas anak muda. Tahun lalu festival ini berhasil mendatangkan sekitar 20.000 pengunjung dalam sehari. Dalam penyelenggaraan ke-9 tahun ini kompetisinya diikuti oleh lebih dari 800 film pendek dan animasi. Keberhasilan menciptakan kegairahan besar pada animasi dan film pendek di kalangan remaja urban Jakarta merupakan kontribusi besar Hellofest bagi pengembangan perfilman di masa depan.
16. PENGHARGAAN KHUSUS DEWAN JURI
Meskipun tidak ada pemenang di kategori Film Independen Pelajar dan Film Independen Mahasiswa, Dewan Juri memutuskan memberikan Penghargaan Khusus untuk film yang dibuat oleh pelajar dan mahasiswa. Penilaian dilakukan atas seluruh film yang disutradarai pelajar dan mahasiwa, tanpa batasan kategori.
Langka Receh (Eka Susilawati)—yang juga salah satu dari tiga calon pemenang untuk kategori Film Pendek—adalah sketsa ringkas mengenai kesederhanaan hidup yang digarap dengan sama sederhananya. Pembuat film ini, seorang pelajar SMP, mampu menangkap fenomena kecil sehari-hari dan menyajikannya dalam konteks sosial yang tepat. Tidak sebatas memaparkan, ia secara tersirat sudah sampai pada tahap memberi komentar sosial, bahkan mungkin mengkritik.
Jakarta, 2 November 2013
Totot Indrarto (Ketua), Dana Riza, Erwin Arnada, Hafiz Rancajale, Jajang C. Noer, Linda Christanty, Mathias Muchus, Nirwan Dewanto, Wahyu Aditya (Anggota)
0 komentar:
Posting Komentar