Meskipun memuat isu yang menarik, dibuat dengan apik, film dokumenter masih terseok untuk bisa tampil di layar komersil."Hal ini terjadi karena salah satu alasannya, film dokumenter masih banyak diidentikkan dengan reportase investigatif. Memang kenyataannya banyak film dokumenter di Indonesia yang seperti itu. Padahal subjek dan alur cerita adalah unsur kekuatan dokumenter yang penting," papar Nia Dinata saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat Jumat
Kendalanya adalah piranti jaringan bioskop 21 yang masih menggunakan pita yang butuh ratusan juta rupiah untuk mengubah format ke digital menjadi pita 35 mm."Terus terang dana kami terbatas, untuk membuat kopi filmnya. Kemampuan kami hanya bisa mencapai tiga kopi. Seandainya pemerintah bersedia membantu tentu kami senang. Tapi di tingkat pemda itu politiking itu sudah tinggi. Repot dan bikin capek, jadi kami menunggu pemerintah saja yang datang pada kami. Kalau memang mau membuat kopi-annya kami siap saja membantu," kata Nia Dinata saat berbincang tentang film Working Girls dengan pers di Metropole, Jakpus."Semoga yang nonton tergugah untuk melakukan perubahan dalam hidupnya. Itu harapan sederhana kami," lanjut Nia.
Dengan balutan Antologi Dokumenter, Working Girls hadir dengan kisah yang menyentuh dan penuh makna. Kisah tiga wanita berbeda yang menjadi tulang punggung di kehidupan keluarga mereka. Working Girls dihasilkan oleh sineas yang berhasil terpilih untuk membuat cerita dari tiga latar belakang yang berbeda.
5 Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah
Disutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom, film ini mengangkat kisah Ayu Riana. Gadis belia berusia 14 tahun yang menjadi andalan keluarga untuk mencari nafkah sejak dirinya memenangkan kontes dangdut yang diadakan salah satu televisi nasional di tahun 2008. Hidup Ayu berubah drastis, sejak saat itu ia harus menyanyi dari satu acara ke acara lainnya demi menghidupi keluarganya.
Di tengah jadwal yang padat, serta tekanan dari keluarga dan kesibukkannya sebagai pelajar, timbul satu pertanyaan. Apakah impian Ayu yang sebenarnya?
5 Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah menggambarkan bagimana seorang anak dijadikan objek oleh orang tuanya. Anak yang seharusnya mendapat pendidikan serta kasih sayang dari orang tua, malah menjadi sumber mata pencaharian bagi keluarga. Ketangguhan Ayu teruji saat tidak pernah mengeluh dan tampak menikmati dunianya itu.
Asal Tidak Ada Angin
Kamek dan teman-temannya adalah perempuan yang loyal terhadap pilihan mereka atau memang tidak tahu harus bekerja sebagai apa selain menjadi seniman pertunjukan tradisional Jawa. Mereka hidup dari panggung ketoprak di sebuah lapangan luas yang mereka sulap sebagai arena mencari uang sekaligus rumah mereka.
Yosep Anggi Noen yang menjadi sutaradara Asal Tidak Ada Angin seperti ingin menggambarkan kepada penonton bahwa kisah Kamek dan kawan-kawan adalah sebuah jalan hidup yang tidak bisa dihindarinya lagi. Panggung ketoprak adalah jalan satu-satunya untuk bertahan hidup.
Ulfie Pulang Kampung
Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer fokus mengangkat kisah waria bernama Ulfie. Berasal dari Aceh, Ulfie kini tinggal di Jakarta dan memiliki sebuah salon kecantikan. Walau jauh dari keluarga, ia tidak lupa untuk rutin mengirimkan uang kepada ibu dan abang-abangnya yang masih tinggal di Aceh.
Setelah sekian tahun Ulfie akhirnya memutuskan untuk pulang kampung dan menemui keluarganya. Sukses menyambangi satu per satu anggota keluarganya, Ulfie dihadapkan dengan situasi teman sesama transgendernya banyak yang meninggal karena HIV/AIDS. Ulfie juga masih merahasiakan penyakit HIV nya kepada keluarga. Mampukah Ulfie menghadapi tekanan hidup?
Ulfie Pulang Kampung tampil lebih personal, sosok Ulfie menjadi magnet bagi duet sutradara. selain menangkap kehidupan Ulfie yang tak kenal lelah, film ini juga menjadi sebuah kampanye bagi mereka yang beresiko dengan HIV/AIDS.Selain di jaringan 21, film ini diputar di Blitz Megaplex dengan format digital. "Putarnya di Jakarta, Bandung, Jogja. Semoga kota lain bisa juga nonton dengan gelaran road show nanti," harapnya.
Sejak tahun 201, Nia mendirikan yayasan untuk menampung social isu agar bisa diangkat ke film. Yayasan film Kalyana Shira Foundation dapat dana dari Ford foundation. Permintaannya yang penting bikin film bagus secara konsisten. "Tahun lalu kami membuat PERTARUHAN, juga tentang wanita dan otonomi tubuhnya. Tahun ini, WORKING GIRLS bisa diputar di 21 itu sebuah usaha luar biasa. Karena meskipun 21 mendukung, bersedia menayangkan tapi jika harus dalam format 35 mm, kami kesulitan memperbanyak master film," pungkasnya.
lihat Trailernya
0 komentar:
Posting Komentar